cerpenku: Tragedi Surat Cinta
Friday, October 26, 2012
by: Shan_cin
Masih teringat kenangan gempa gempita peraduan budaya Sunda Melayu dalam pesta 'hajatan' anak menantuku. Yang begitu meriah menyambut hari besar sekaligus kebahagiaan dua insan yang kini telah tersatukan oleh takdir-Nya.
Tapi, hal itu malah membuatku berada pada lautan duri tajam yang menancap sukmaku, hingga perih dan teramat pedih nyaris membuatku hilang akal. Namun, nuraniku berhasil menahan laju kegilaanku. Dengan enggan ku 'amini' pernikahan mereka. Restuku hanya untuk senyuman dan kebahagiaan putriku. Dan akhirnya aku hanya bisa menuutup dan mengunci rapat-rapat sakit ini karena masih enggan menerima menantuku terutama latar belakangnya.
Jauh setelah kutahu lamaran anakku, pikiranku malah berkata,
'Bodoh! Kenapa kuterima lamarannya?' atau 'Ya, Allah... Apa tidak ada jodoh yang lain bagi anakku?'
'Bodoh! Kenapa kuterima lamarannya?' atau 'Ya, Allah... Apa tidak ada jodoh yang lain bagi anakku?'
"Astaghfirullaah....!"
Jeritku pelan berbarengan dengan gigitan pada bibirku. Kukulum rapat-rapat perasaan 'bodohku'. Sisi batinku seolah mengingatkanku.Tak boleh ada ingkar terhadap keputusan-Nya. Kata orangtua 'pamali'. Segera kutarik nafas dalam meski agak berat.
* * *
"Nggak boleh kesana, Yah....!" Ucapku sedikit teriak.
Spontan saja ku keluarkan kata-kata itu, begitu membuat sedikit lega ketika meluncur dari kerongkonganku. Meskipun masih terasa dongkol semenjak suamiku mengajak bersilaturahmi ke kediaman anak menantuku.
"Dia 'kan anak kita, Dik... Sekalian kita silaturahim ke besan..."
"Tuh 'kan, Ayah cuma ingin ketemu besan yang janda itu!"
Belum selesai suamiku bicara, segera kupotong dengan lantang. Sedangkan yang terpotong hanya diam dan tersenyum. Rautnya seakan meledekku. Mungkin ia merasa bangga dicemburui olehku.
Hah? Cemburu? Di usiaku yang menginjak kepala empat?
Ini bukan soal pantas atau tidaknya pasangan tidak muda lagi yang masih bergelora rasa cintanya. Tapi, wanita mana yang tidak cemburu ketika tahu orang yang pernah dicintai suaminya muncul dan menjadi besan? Ditambah lagi dengan statusnya yang 'janda' itu.
Mukaku masih memerah, tapi suamiku malah berlalu. Ia hanya melontarkan salam dan kecupan dikeningku, dan masih dengan bumbu senyumnya. Hal itu mengisyaratkan saatnya berangkat menjemput rezeki.
* * *
Jantungku berdebar tak karuan, seakan ada makhluk didalamnya yang menghentakkan dengan keras dan cepat. Tak hanya itu, bahkan kakiku yang biasa berjalan cepatpun kini terasa lemas. Suamiku mencoba memegangi tanganku atau mendekap agar berjalan bergandengan. Tapi kutolak mentah-mentah.
"Masih ndumel?" Celetuk suamiku.
Aku hanya diam dan masih kesal. Ia tidak mengerti permintaankub untuk tidak menemui 'besan spesialnya' itu. Apa ia hanya ingin memanas-manasi sang mantan 'tercinta' yang cintanya kandas diambil orang, dengan sikapnya yang ingin terlihat mesra? Jika iya, berarti ia masih mengingat-ingat masa lalunya itu!
Memasuki teras suamiku menekan bel rumah yang memanggil-manggil si empunya rumah. Dan selang beberapa detik kemudian sesosok wanita berjilbab datang dibalik daun pintu dan menyambut kami dengan senyum sumringahnya. Segera tanpa dikomandoi wajahkupun membalas senyumnya meski dalam hati rasanya tak merestui.
* * *
"Mas Faqih 'tuh orangnya baik lho, mbak..." Ucap besanku.
Entah apa maksud dari ucapan yang memuji-muji suamiku itu. Apa mau pamer masa-masa dulu? Heeeeuuuuuhhhh membuat gerah saja.
Tapi aku hanya bisa menjawab 'iya' dengan nyengir ala kuda. Kulakukan agar tak membuat malu putriku. Salah-salah, malah putriku yang masih numpang disini jadi malu karena kelakuan bodoh ibunya.
Padahal dulu aku ingin anak menantuku tinggal dirumahku saja. Tapi menantuku menolak karena ia tidak ingin aku kerepotan dan ingin menemani ibunya yang tinggal sendirian. Tentunya sebelum memiliki rumah. Dan anakku pastinya harus menuruti apa kata suaminya.
Diruangan ini hanya ada aku dan si besan. Suamiku malah pergi diajak menantuku untuk mengotak-atik motornya atau sekedar memancing di belakang. Karena si menantu telah lama ingin mengajak memancing di rumahnya.
"Surat-surat yang saya kasih selalu diterimanya, ah saya jadi malu... hihihi...", sambungnya yang seakan ingin kusembur segelas jus buah dihadapanku ini. "Mbak tahu, 'kan?", tanyanya dengan watados (wajah tanpa dosa) dan malah tertawa.
"Eh, iya...iya..., sura-surat itu, ya?".
'Ya tentu saja aku tahu! Ini yang jadi biang masalah, perusak perasaan!', jeritku dalam hati. Semakin meningkatkan keinginanku untuk meninju wajahnya hingga lebam dan pasti lagi-lagi tak mungkin kulakukan. Batinku mengingatkanku lagi. Hingga meninggalkan rasa 'gondok' yang bertahan dalam diriku.
Apa sebenarnya mau wanita ini? Memanas-manasi aku? Mukaku serasa terbakar, hatiku serasa meledak seperti gas elpiji 3kg yang bocor dan tersambar api bahkan lebih dari itu, mungkin sedahsyat ledakan Hiroshima-Nagasaki!
"Alhamdulillah, sayapun menikah dengan mas Fadli..."
TOENG!
Apa hubungannya?
"Mas Fadli...?"
Aku terheran-heran dan masih bingung. Mukaku kini agak sedikit padam.
"Iya, Mas Fadli. Ayahnya Aqil.", jawabnya sambil menyeruput minumannya. Mungkin ia haus karena terlalu bersemangat menceritakan kenangan suaminya yang telah pergi atau juga mengumpulkan energi untuk menjelaskan apa yang terjadi.
"Dulu Mas Fadil hidup dilingkungan keluarga yang disiplin. Punya pacarpun gak pernah sebelum kenal saya, mbak...", lagi-lagi ia berkata sambil sedikit tertawa. "Dulu saya punya tugas sekolah buat wawancara dia, begitu tahu orangnya ternyata baik juga dan enak diajak ngobrol. Ya, bisa dibilang saya ketarik gitu, mbak... hihi...", ujarnya dengan tartawa bahagianya lagi. "Eh, tahu-tahunya Mas Faqih nganterin surat waktu kelulusan supaya nunggu dia sukses, baru saya dikenalkan ke orangtuanya."ungkapnya dengan penuh kenang.
Aku hanya bisa membulatkan bibirku dan agak sedikit tergagap mendengar penjelasannya. Perutku serasa mual mengingat rasa muakku pada suamiku yang tak berdasar. Jantungkupun bergetar hebat tak seperti biasanya. Keraguan terhadap kesetiaan suamiku terjawab sudah dan sepertinya aku malu untuk membahasnya. Batinku seolah tak mampu mengajak ragaku untuk menceritakan pada suamiku.
* * *
"Sudah berhenti ngedumel-nya? Tumben senyum-senyum sama suamimu yang ganteng ini..." Goda suamiku memulai pembicaraan kami.
"Perasaan siapa yang ngedumel? Orang dari tadi fine-fine aja..." Jawabku masih bertaburan senyum.
Senyum malu dan bahagia.
"Udah gak cemburu,ya...?" Goda suamiku lagi.
"Cemburu apanya? Umur segini udah gak jaman tuh cemburu-cemburuan, kalo suami nikah lagi atau punya simpanan baru cemburu...!" Jelasku lagi dengan agak sedikit kesal olehnya. Tapi tetap saja rasa maluku lebih besar dari itu.
"Kenapa surat-suratnya ada di ayah?" Tanyaku masih penasaran.
"Ya, karena Fadli ingin suratnya disimpan untuk kenangan. Tapi gak keburu dikasih. Tau-taunya dia udah meninggal. Tadi sudah dikasih ke istrinya. Kenapa Ma, cemburu ya?"
"Ayah...!"
Teriakku sambil setengah mengangkat sepatu dan melotot dihadapannya...
PS:
terima kasih sudah membaca tulisan ini, ingin share atau copy mohon dicantumkan alamat blog ini...
Shan Cin :D
PS:
terima kasih sudah membaca tulisan ini, ingin share atau copy mohon dicantumkan alamat blog ini...
Shan Cin :D
0 komentar
Silahkan berkomentar dengan baik, sopan dan boleh sedikit bercanda tanpa keterlaluan, ya. No Spam No Iklan.